Perjuangan melepaskan kecanduan gawai pada bayi atau toddler

Dimulai karena pandemic yang mengharuskan aku dan suami bekerja dari rumah, setiap kali anak-anak membutuhkan kami untuk bersenang-senang disaat yang sama kami harus menyelesaikan kewajiban pekerjaan, jadilah si YouTube menjadi penolong. Sehari, sebulan, dan bahkan setahun berlalu akhirnya si YouTube pulalah yang menjadi the best baby sitter bagi si toddler yang baru berusia dua tahun.

Hal yang membuatku tersadar bahwa si gawai ini sudah bisa menggantikan posisiku sebagai ibunya adalah ketika aku siap untuk bermain dengan anakku tapi dia justru meminta ‘kwak kwak’- begitu dia menyebut si YouTube ini- sebagai temannya. Di usianya yang seharusnya selalu excited dengan hal baru yang ditemui, justru dia seperti tidak peduli dengan dunia sekitarnya.

Bahkan durasi yang sanggup dia habiskan adalah selama 1 jam nonstop tanpa menoleh sedikitpun. Dimana teorinya adalah durasi screen time yang disaran kan untuk toddler adalah hanya selama kurang dari 30 menit itupun sebaiknya adalah screen time yang berupa interaksi dua arah misalnya sekolah jarak jauh seperti yang umum dilakukan saat ini.

Sungguh hal ini sangat miris dimana aku selalu menggaungkan bahwa pendidikan dimulai saat anak lahir, dimana seharusnya anak-anak selalu di eksplore pada pengalaman konkret untuk memenuhi rasa ingin tahunya atau mengenalkannya pada dunia namun justru aku menelantarkannya. Saat itu pula aku berfikir ini salah dan jika ini berlarut habislah aku. Kemudian aku bertekad untuk mengembalikan masa-masa usia bayiku dimana seharusnya dia menjadi anak seusianya.

So, berikut tips-tips perjuangan aku menghilangkan kecanduan bayi usia dua tahun pada gawai:

  1. Mengatur rutinitas lebih teratur secara perlahan agar anak bisa lebih nyaman. Aku mulai dengan tidak terlambat tidur malam, jadi dia bisa bangun dipagi hari dengan segar sehingga lebih mudah di arahkan di siang hari.
  2. Tertib dengan jadwal rutinitas yang sudah dibuat. Anak-anak sangat sensitive pada jadwal rutinitas, maka ketika mereka sudah terbiasa dengan rutinitas tertentu maka mereka lebih merasa nyaman. Ada kegiatan yang harus dilakukan sesuai dengan jadwal misalnya mandi, makan, tidur. Ada pula kegiatan yang bisa fleksible misalnya bersosialisasi, main dengan teman.
  3. Menyediakan aktifitas-aktifitas untuk dilakukan di waktu produktifnya. Biasanya si toddler masa produktifnya sekitar jam 8-10 pagi. Dan kegiatannya masih seputar untuk stimulasi sensory dan fisiknya. Contohnya adalah: lempar tangkap bola, main dampu bulan di buat versi untuk bayi, kegiatan sensory play dan juga banyak kegiatan yang berhubungan dengan fine motor skill.
  4. Untuk kegiatan nonton via telepon genggam aku memilih untuk cut off sama sekali. Jadi aku tidak menggunakan cara mengurangi durasi secara perlahan karena anak ini masih di usia toddler akan lebih sulit membuat kesepakatan berapa lama dia boleh nonton. Hal yang terjadi jika cara ini dilakukan adalah akan terjadi tarik menarik handphone.
  5. Namun, adek masih dapat jatah 1 jam nonton acara televisi favoritnya sekitar jam 7 malam bersama kakaknya setelah jadwal membaca. 1 jam disini masih termaafkan karena selama nonton dia masih berinteraksi dengan kakaknya dan orang-orang yang lewat di ruang tv artinya dia tidak benar-benar nonstop melihat layar seperti yang terjadi ketika menonton YouTube.
  6. Hal terakhir yang paling menentukan keberhasilan adalah konsistensi dari orang tua. Betapa kami harus bertahan pada rengekan, tangisan tantrum yang terjadi setiap dia meminta nonton. Ini perjuangan yang tidak mudah, tapi kami tidak punya pilihan lain selain mengembalikan waktu yang sudah terbuang. Aku justru bersyukur tersadar lebih awal ketika semuanya masih belum terlambat untuk diperbaiki.

Semua usaha ini berlangsung selama 3 bulan, setelah itu adek sudah mulai bisa menjadi anak yang seharusnya di usianya. Demikian tips-tips yang aku lakukan berdasarkan pengalamanku. Semoga pengalaman ini bisa menjadi pelajaran.